Sastra selalu didefinisikan tulisan yang indah, dengan konsekuensi
menggunakan stilistika
untuk membangkitkan imajinasi bagi pembacanya. Mengenai pernyataan normatif sastra dan
pengajaran Putu
Wijaya (2009)
menulis. Bagaimana sebaiknya
mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah:
apakah sastra
itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan
dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.
Mengenai
karya sastra Putu memberikan definisi berikut ini. Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala
bentuk ekspresi dengan memakai
bahasa sebagai basisnya.
Dengan
membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau.
Bukan hanya
apa
yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su
(indah), catatan-catatan,
surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi
cerita dan puisi, anekdot, graffiti,
bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.
Apa yang disampaikan Putu Wijaya, membuka mata para guru sastra
di Sekolah, bahwa sastra tidak bisa berdiri sendiri, seagai materi pengajaran sastra, tetapi selalu berkait dengan ekspresi dalam
bentuk bahasa. Sastra erat hubungannya dengan imajinasi seseorang. Apa yang anda saksikan dari
sebuah iklan
rokok, ketika seorang anak muda berdesak-desakan di gerbong kereta api untuk mencari tempat duduk. Setelah berhasil duduk, ada seorang ibu tua yang tidak mendapat tempat duduk, lalu si pemuda memberi tempat duduknya,
sedang laki-laki lain yang duduk di depannya menutup
matanya dengan Koran. Pembelajaran moral apa
yang didapat dari tayangan iklan tersebut bagi
pembelajaran
moral?
Meminjam istilah Rene Wellek dan
Austin Waren
(1990),
satra
memiliki kebermanfaatan dan
kenikmatan. Alangkah indahnya jika banyak pemuda di Indonesia mau berkorban untuk orang lain dalam konteks yang lebih luas.
Pada awal
perkembangan, literasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan bahasa dan
gambar yang beragam untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat,
menyajikan, dan berpikir kritis. Perkembangan berikutnya, literasi berkaitan
dengan situasi dan praktik sosial. Kemudian, lierasi diperluas dengan
berkembangnya teknologi dan informasi media. Setelah itu, literasi dipandang
sebagai konstruksi sosial dan tidak pernah netral (Abidin, 2015: 49-50).
Sastra adalah salah satu identitas bangsa Indonesia yang tidak bisa
begitu saja di lupakan dan ditiadakan, karena karya sastra sebagai manifestasi
pemikiran bangsa sekaligus budaya yang perlu dilestarikan. Sastra juga bentuk
pengungkapan para sastrawan dan akademisi dalam ranah sosial, budaya, maupun
politik. Dan agar sastra dapat tetap lestari, maka semua kalangan juga harus
berperan dan mengambil andil dalam pelestarianya termasuk kaum remaja. Dalam
perkembangan zaman yang begitu signifikan ini, informasi berkembang tidak hanya
lewat media yang bersifat nyata atau 3D tetapi, informasi berkembang di media
digital atau virtual.
Pembelajaran sastra juga dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
yang berbunyi “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.” Jika remaja zaman sekarang bersemangat dan berkeinginan
untuk membuat karya sastra maka, itu termasuk dari implentasi dari kreatif dan
menjadi warga negara yang bertanggungjawab untuk bangsa dan negara.
Literasi digital yang diinginkan adalah lebih mengarah kepada proses
belajar menggunakan media visual, audio maupun audiovisual yang bersifat maya
dan berbasis internet. Apabila kedepannya kita hanya menggunakan cara
pembelajaran yang langsung atau pembelajaran yang monoton seperti ceramah dan
tanya jawab maka, pembelajaran dikelas bisa saja tidak efektif maupun efesien.
Secara intelektual usia anak SD/MI memiliki karakteristik yang cenderung senang
bermain, bergerak adan belajar secara langsung atau kontekstual (Desmita,2011
:35) sedangkan dalam perkembangan bahasa anak usia SD/MI sudah sangat pesat,
mereka mampu menguasai sekitar 2.500 kata dan pembelajaran sastra juga sebagai
pemerkuat dan penunjang dari pemerolehan bahasa(Syamsu Yusuf dan Nani M
Sugandi, 2011:59-60), dalam hal pembelajarannya mereka juga menyukai hal yang
berwarna dan cenderung membangkitkan daya imajinasi seperti gambar-gambar
kartun maupun animasi.
Secara sederhana,
literasi dimaknai sebagai kegiatan yang melibatkan baca tulis. Pengertian dari
kegiatan tersebut tidak hanya asal bisa membaca dan menulis saja. Namun,
diperlukan kemampuan memahami dan mengapresiasi berbagai bentuk komunikasi
secara kritis (Indriyana, 2016:1-2). Gilster mengartikan literasi digital
sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari
berbagai sumber ketika itu disajikan di komputer (dalam Maulana, 2015: 3).
Retnowati (2015: 314) mengemukakan bahwa literasi media atau literasi digital
dikembangkan sebagai alat untuk melindungi orang dari terpaan media agar
memiliki kemampuan berpikir kritis serta mampu mengekspresikan diri dan
berpartisipasi dalam media.
Literasi digital sendiri juga memiliki dampak maupun akibat negatif yang
tidak sedikit.Orangtua juga menganggap bahwa internet mempunyai dampak negatif
terhadap anak, misalnya berhubungan dengan perilaku agresif sebagai dampak dari
akses konten yang mengandung kekerasan melalui internet (Hughes & Hans,
2004).Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh pengguna internet yang relatif
baru karena pengetahuan yang terbatas, emosi yang belum cukup matang, dan
euforia dalam menggunakan internet. Oleh karena anak cenderung beraktivitas
online sendirian, penting artinya bagi orang tua melakukan pengawasan untuk
dapat mengurangi dampak negatif internet (Leung & Lee, 2011: 118).internet
acapkali dianggap menimbulkan kecanduan yang menyebabkan anak-anak kurang
berinteraksi dengan anggota keluarga lain maupun teman sebayanya.
Alasan lain, internet sering dianggap memberikan dampak negatif karena
alasan konten, seperti pornografi, kekerasan, dan cyberbullying. Di sisi lain, internet juga
dianggap memiliki dampak positif, karena dapat
digunakan sebagai sarana belajar oleh anak. Sebagai contoh, studi yang
dilakukan Christina Davidson (2011)menunjukkan bahwa internet bisa digunakan
secara positif oleh anak-anak di rumah. Melalui kasus yang sederhana, Davidson
(2011:38-41). Memang Literasi digital disini memerlukan adanya suatu pengawasan
dan pengarahan orang yang lebih dewasa termasuk salah satunya adalah guru.
Bahkan jika perlu, harus melakukan riset kedepan tentang bagaimana melakukan
pembelajaran termasuk sastra yang aman, nyaman dan terkendali menggunakan media
digital.Nah, dari sini maka sudah diketahui literasi digital bisa menjadi salah
satu solusi maupun menjadi suatu tantangan luar biasa kedepannya dan khususnya
dalam dunia pembelajaran sastra.
Saat ini dapat
dikatakan bahwa minat bersastra sangat rendah. Dari berbagai penelitian-penelitian
yang pernah ada, dinyatakan bahwa minat bersastra terkait pembelajaran menulis cukup
rendah. Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Dalam pembelajaran di
sekolah, seringkali hal ini ditenggarai oleh siswa yang kesulitan untuk menuliskan
ide, merangkai kata, dan menyelipkan gaya bahasa untuk menampah keapikan
tulisannya.
Akan tetapi, tidak
adil jika mengatakan bahwa terdapat permasalahan pada minat bersastra, terutama
menulis masyarakat Indonesia. Buktinya, banyak penulis-penulis baru bermunculan,
seperti Faisal Oddang, Dwi Ratih, Boy Candra, dan sebagainya. Penulis-penulis
baru tiap tahunya bermunculkan dan menerbitkan karya-karya terbaik mereka.
Dapat dilihat di tokotoko buku, karya-karya sastra tidak hanya berkisar pada
karya-karya pengarang yang memang sudah terkenal saja, namun
pengarang-pengarang barupun mulai memenuhi rak-rak buku di berbagai toko buku
di Indonesia. Perlombaan-perlombaan menulispun tidak jarang diselenggarakan
berbagai penerbit mayor yang ada di Indonesia.
Permasalahannya,
ada sebagian masyarakat penikmat sastra yang suka menulis, bisa menulis, namun
tidak berani mempublikasikan karyanya. Alasannya, mereka berpikir bahwa karya
yang mereka hasilkan belum layak ditampilkan, terlebih jika mereka harus
mengeluarkan uang untuk melengkapi berbagai persyaratan. Bagi sebagian penulis
barangkali hal ini menjadi faktor-faktor yang menyebabkan minat bersastra
terutama menulisnya hanya cukup sampai koleksi pribadi saja.
Hal ini kini telah
dapat sedikitnya teratasi dengan perkembangan literasi digital. Kemudahan-kemudahan
yang dhadirkan, informasi-informasi, bacaan-bacaan sastra, dan hal-hal yang
berkaitan dengan dunia sastra, sangat mudah untuk diketahui. Penerbit-penerbit
indie memanfaatkan hal ini untuk membantu para penulis mempublikasikan karyanya
melalui media sosial, yaitu facebook.
Pemerolehan
informasi saat ini sangat mudah. Adanya media digital memudahkan setiap
penggunanya berbagi informasi apa saja dan dari
belahan dunia manapun. Siapapun dapat menggunakan media digital dan memberikan
dampak positif kepada dirinya, tidak jarang pula memberikan dampak negatif. Artinya, media
digital saat ini seperti dua mata pisau. Tergantung cara pengguna mengelolanya.
Media digital sendiri
diartikan sebagai media sosial yang merupakan bagian dari perkembangan internet.
Kemudahan-kemudahan yang disuguhkan oleh media sosial saat ini menyebabkan ketergantuangan
bagi penggunanya, baik dalam artian positif maupun negeatif. Penggunya dari berbagai
kalangan, dari anak sekolah dasar, hingga oarang-orang lanjut usia yang
sekiranya masih mampu mengoperasikan internet.
Pada kasus ini,
difokuskan pada media sosial seperti facebook. Media sosial yang satu ini sangat
digemari oleh berbagai lapisan masyarakat. Walaupun begitu, tetap saja menggunakannya
harus hati-hati. Pengguna akun harus memiliki kemampuan literasi yang mumpuni.
Bukan kemampuan literasi biasa, tetapi kemampuan literasi digital. Penyebabnya,
era literasi digital sangat mudah memengaruhi masyarakat, berbagai informasi
dapat diketahui darimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, pengguna harus
benar-benar cerdas mengoperasikan akun facebooknya.
Kini para pengguna
media sosial hadir dari berbagai kalangan, usia, maupun komunitas. Artinya,
orang-orang yang memanfaatkan media sosial sudah tidak terbendung lagi. Hasil
riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunitas
Universitas Indonesia 2014 yang dimuat dalam kompas tanggal 22 Desember 2015
menunjukkan bahwa sejak 2005 jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak
dari 16 juta orang menjadi 88,1 juta orang. Dari jumlah tersebut, 55% digunakan
oleh orang-orang yang bekerja atau berwiraswasta, 18% mahasiswa, 16% ibu rumah
tangga, 6% pengangguran, dan 5% pelajar. Dari segi sisi pendidikan, sebesar
64,7% berlatar belakang SMA sederajat, 16,9% sarjana S1, 9,7% SMP sederajat,
6,8% diploma, 1,2% SD sederajat, dan 0,4% pascasarjana.
Literasi digital
mencakup pemahaman tentang web dan mesin pencari. Literasi digital juga dapat
diartikan sebagai himpunan sikap, pemahaman, dalam menangani dan
mengomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media
dan format. Bawden berpendapat bahwa literasi digital merupakan kemampuan untuk
berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan yang berurut
berbantuan komputer. Secara umum, literasi digital adalah kemampuan untuk
berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti memnaca non-sekuensial
atau non urutan berbantuan komputer (Caniago, 2013: 6-8).
Literasi media
atau literasi digital harus mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan
kemampuan khalayak baik secara intelektual yaitu pendidikan literasi media
dalam memahami pesaan media yang khas. Mengembangkan kemampuan emosi, merasakan
hal yang diarsakan diri sendiri dan orang lain dari suatu pesan. Mengembangkan
kematangan moral dalam kaitannya dengan konsekuensi moralitas bagi setiap
orang. Literasi media bergerak untuk melihat pengaruh buruk yang dapat
ditimbulkan oleh pesan-pesan media dan belajar mengantisipasinya (Tamburaka,
2013: 13-14).
SUMBER BACAAN
1. https://www.duniapgmi.com/2019/07/bagaimana-literasi-digital-sebagai.html
2. https://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Nani-Pratiwi.pdf
4. https://online-journal.unja.ac.id/pena/article/view/6706/4236
0 comments:
Post a Comment