Pages

Labels

6/25/20

LITERASI DIGITAL SASTRA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Sastra selalu didefinisikan tulisan yang indah, dengan konsekuensi menggunakan stilistika untuk membangkitkan imajinasi bagi pembacanya. Mengenai pernyataan normatif sastra dan pengajaran Putu Wijaya (2009) menulis.   Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah:  apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.

 

Mengenai karya sastra Putu memberikan definisi berikut ini. Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan,  surat-surat,  renungan,  berita-berita,  apalagi  cerita  dan  puisi,  anekdot,  graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.

 

Apa yang disampaikan Putu Wijaya, membuka mata para guru sastra di Sekolah, bahwa sastra tidak bisa berdiri sendiri, seagai materi pengajaran sastra, tetapi selalu berkait dengan ekspresi dalam bentuk bahasa. Sastra erat hubungannya dengan imajinasi seseorang. Apa yang anda saksikan dari

sebuah iklan rokok, ketika seorang anak muda berdesak-desakan di gerbong kereta api untuk mencari tempat duduk. Setelah berhasil duduk, ada seorang ibu tua yang tidak mendapat tempat duduk, lalu si pemuda memberi tempat duduknya, sedang laki-laki lain   yang duduk di depannya menutup matanya dengan Koran. Pembelajaran moral apa yang didapat dari tayangan iklan tersebut bagi pembelajaran  moral?    Meminjam  istilah Rene  Wellek  dan  Austin  Waren  (1990),  satra  memiliki kebermanfaatan dan kenikmatan. Alangkah indahnya jika banyak pemuda di Indonesia mau berkorban untuk orang lain dalam konteks yang lebih luas.

 

Pada awal perkembangan, literasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan bahasa dan gambar yang beragam untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat, menyajikan, dan berpikir kritis. Perkembangan berikutnya, literasi berkaitan dengan situasi dan praktik sosial. Kemudian, lierasi diperluas dengan berkembangnya teknologi dan informasi media. Setelah itu, literasi dipandang sebagai konstruksi sosial dan tidak pernah netral (Abidin, 2015: 49-50).

 

Sastra adalah salah satu identitas bangsa Indonesia yang tidak bisa begitu saja di lupakan dan ditiadakan, karena karya sastra sebagai manifestasi pemikiran bangsa sekaligus budaya yang perlu dilestarikan. Sastra juga bentuk pengungkapan para sastrawan dan akademisi dalam ranah sosial, budaya, maupun politik. Dan agar sastra dapat tetap lestari, maka semua kalangan juga harus berperan dan mengambil andil dalam pelestarianya termasuk kaum remaja. Dalam perkembangan zaman yang begitu signifikan ini, informasi berkembang tidak hanya lewat media yang bersifat nyata atau 3D tetapi, informasi berkembang di media digital atau virtual.

Pembelajaran sastra juga dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  yang berbunyi  “Pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  dan membentuk   watak   serta   peradaban  bangsa   yang   bermartabat   dalam   rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar  menjadi  manusia  yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang Maha  Esa,  berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri,  dan  menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Jika remaja zaman sekarang bersemangat dan berkeinginan untuk membuat karya sastra maka, itu termasuk dari implentasi dari kreatif dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab untuk bangsa dan negara.

Literasi digital yang diinginkan adalah lebih mengarah kepada proses belajar menggunakan media visual, audio maupun audiovisual yang bersifat maya dan berbasis internet. Apabila kedepannya kita hanya menggunakan cara pembelajaran yang langsung atau pembelajaran yang monoton seperti ceramah dan tanya jawab maka, pembelajaran dikelas bisa saja tidak efektif maupun efesien. Secara intelektual usia anak SD/MI memiliki karakteristik yang cenderung senang bermain, bergerak adan belajar secara langsung atau kontekstual (Desmita,2011 :35) sedangkan dalam perkembangan bahasa anak usia SD/MI sudah sangat pesat, mereka mampu menguasai sekitar 2.500 kata dan pembelajaran sastra juga sebagai pemerkuat dan penunjang dari pemerolehan bahasa(Syamsu Yusuf dan Nani M Sugandi, 2011:59-60), dalam hal pembelajarannya mereka juga menyukai hal yang berwarna dan cenderung membangkitkan daya imajinasi seperti gambar-gambar kartun maupun animasi.

Secara sederhana, literasi dimaknai sebagai kegiatan yang melibatkan baca tulis. Pengertian dari kegiatan tersebut tidak hanya asal bisa membaca dan menulis saja. Namun, diperlukan kemampuan memahami dan mengapresiasi berbagai bentuk komunikasi secara kritis (Indriyana, 2016:1-2). Gilster mengartikan literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan di komputer (dalam Maulana, 2015: 3). Retnowati (2015: 314) mengemukakan bahwa literasi media atau literasi digital dikembangkan sebagai alat untuk melindungi orang dari terpaan media agar memiliki kemampuan berpikir kritis serta mampu mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam media.

 

Literasi digital sendiri juga memiliki dampak maupun akibat negatif yang tidak sedikit.Orangtua juga menganggap bahwa internet mempunyai dampak negatif terhadap anak, misalnya berhubungan dengan perilaku agresif sebagai dampak dari akses konten yang mengandung kekerasan melalui internet (Hughes & Hans, 2004).Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh pengguna internet yang relatif baru karena pengetahuan yang terbatas, emosi yang belum cukup matang, dan euforia dalam menggunakan internet. Oleh karena anak cenderung beraktivitas online sendirian, penting artinya bagi orang tua melakukan pengawasan untuk dapat mengurangi dampak negatif internet (Leung & Lee, 2011: 118).internet acapkali dianggap menimbulkan kecanduan yang menyebabkan anak-anak kurang berinteraksi dengan anggota keluarga lain maupun teman sebayanya.

Alasan lain, internet sering dianggap memberikan dampak negatif karena alasan konten, seperti pornografi, kekerasan, dan  cyberbullying. Di sisi lain, internet juga dianggap memiliki dampak positif, karena dapat  digunakan sebagai sarana belajar oleh anak. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Christina Davidson (2011)menunjukkan bahwa internet bisa digunakan secara positif oleh anak-anak di rumah. Melalui kasus yang sederhana, Davidson (2011:38-41). Memang Literasi digital disini memerlukan adanya suatu pengawasan dan pengarahan orang yang lebih dewasa termasuk salah satunya adalah guru. Bahkan jika perlu, harus melakukan riset kedepan tentang bagaimana melakukan pembelajaran termasuk sastra yang aman, nyaman dan terkendali menggunakan media digital.Nah, dari sini maka sudah diketahui literasi digital bisa menjadi salah satu solusi maupun menjadi suatu tantangan luar biasa kedepannya dan khususnya dalam dunia pembelajaran sastra.

Saat ini dapat dikatakan bahwa minat bersastra sangat rendah. Dari berbagai penelitian-penelitian yang pernah ada, dinyatakan bahwa minat bersastra terkait pembelajaran menulis cukup rendah. Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Dalam pembelajaran di sekolah, seringkali hal ini ditenggarai oleh siswa yang kesulitan untuk menuliskan ide, merangkai kata, dan menyelipkan gaya bahasa untuk menampah keapikan tulisannya.

 

Akan tetapi, tidak adil jika mengatakan bahwa terdapat permasalahan pada minat bersastra, terutama menulis masyarakat Indonesia. Buktinya, banyak penulis-penulis baru bermunculan, seperti Faisal Oddang, Dwi Ratih, Boy Candra, dan sebagainya. Penulis-penulis baru tiap tahunya bermunculkan dan menerbitkan karya-karya terbaik mereka. Dapat dilihat di tokotoko buku, karya-karya sastra tidak hanya berkisar pada karya-karya pengarang yang memang sudah terkenal saja, namun pengarang-pengarang barupun mulai memenuhi rak-rak buku di berbagai toko buku di Indonesia. Perlombaan-perlombaan menulispun tidak jarang diselenggarakan berbagai penerbit mayor yang ada di Indonesia.

 

Permasalahannya, ada sebagian masyarakat penikmat sastra yang suka menulis, bisa menulis, namun tidak berani mempublikasikan karyanya. Alasannya, mereka berpikir bahwa karya yang mereka hasilkan belum layak ditampilkan, terlebih jika mereka harus mengeluarkan uang untuk melengkapi berbagai persyaratan. Bagi sebagian penulis barangkali hal ini menjadi faktor-faktor yang menyebabkan minat bersastra terutama menulisnya hanya cukup sampai koleksi pribadi saja.

 

Hal ini kini telah dapat sedikitnya teratasi dengan perkembangan literasi digital. Kemudahan-kemudahan yang dhadirkan, informasi-informasi, bacaan-bacaan sastra, dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia sastra, sangat mudah untuk diketahui. Penerbit-penerbit indie memanfaatkan hal ini untuk membantu para penulis mempublikasikan karyanya melalui media sosial, yaitu facebook.

 

Pemerolehan informasi saat ini sangat mudah. Adanya media digital memudahkan setiap

penggunanya berbagi informasi apa saja dan dari belahan dunia manapun. Siapapun dapat menggunakan media digital dan memberikan dampak positif kepada dirinya, tidak jarang pula  memberikan dampak negatif. Artinya, media digital saat ini seperti dua mata pisau. Tergantung cara pengguna mengelolanya.

 

Media digital sendiri diartikan sebagai media sosial yang merupakan bagian dari perkembangan internet. Kemudahan-kemudahan yang disuguhkan oleh media sosial saat ini menyebabkan ketergantuangan bagi penggunanya, baik dalam artian positif maupun negeatif. Penggunya dari berbagai kalangan, dari anak sekolah dasar, hingga oarang-orang lanjut usia yang sekiranya masih mampu mengoperasikan internet.

 

Pada kasus ini, difokuskan pada media sosial seperti facebook. Media sosial yang satu ini sangat digemari oleh berbagai lapisan masyarakat. Walaupun begitu, tetap saja menggunakannya harus hati-hati. Pengguna akun harus memiliki kemampuan literasi yang mumpuni. Bukan kemampuan literasi biasa, tetapi kemampuan literasi digital. Penyebabnya, era literasi digital sangat mudah memengaruhi masyarakat, berbagai informasi dapat diketahui darimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, pengguna harus benar-benar cerdas mengoperasikan akun facebooknya.

 

Kini para pengguna media sosial hadir dari berbagai kalangan, usia, maupun komunitas. Artinya, orang-orang yang memanfaatkan media sosial sudah tidak terbendung lagi. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunitas Universitas Indonesia 2014 yang dimuat dalam kompas tanggal 22 Desember 2015 menunjukkan bahwa sejak 2005 jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak dari 16 juta orang menjadi 88,1 juta orang. Dari jumlah tersebut, 55% digunakan oleh orang-orang yang bekerja atau berwiraswasta, 18% mahasiswa, 16% ibu rumah tangga, 6% pengangguran, dan 5% pelajar. Dari segi sisi pendidikan, sebesar 64,7% berlatar belakang SMA sederajat, 16,9% sarjana S1, 9,7% SMP sederajat, 6,8% diploma, 1,2% SD sederajat, dan 0,4% pascasarjana.

 

Literasi digital mencakup pemahaman tentang web dan mesin pencari. Literasi digital juga dapat diartikan sebagai himpunan sikap, pemahaman, dalam menangani dan mengomunikasikan informasi dan pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Bawden berpendapat bahwa literasi digital merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan yang berurut berbantuan komputer. Secara umum, literasi digital adalah kemampuan untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti memnaca non-sekuensial atau non urutan berbantuan komputer (Caniago, 2013: 6-8).

 

Literasi media atau literasi digital harus mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan kemampuan khalayak baik secara intelektual yaitu pendidikan literasi media dalam memahami pesaan media yang khas. Mengembangkan kemampuan emosi, merasakan hal yang diarsakan diri sendiri dan orang lain dari suatu pesan. Mengembangkan kematangan moral dalam kaitannya dengan konsekuensi moralitas bagi setiap orang. Literasi media bergerak untuk melihat pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan oleh pesan-pesan media dan belajar mengantisipasinya (Tamburaka, 2013: 13-14).

 

 

 

 

 

SUMBER BACAAN

 

1. https://www.duniapgmi.com/2019/07/bagaimana-literasi-digital-sebagai.html

2. https://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Nani-Pratiwi.pdf

3. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131572386/penelitian/STATEGI%20LITERASI%20DALAM%20PEMBELAJARAN%20SASTRA%20MELALUI%20PERSPEKTIF%20BUDAYA.pdf

4. https://online-journal.unja.ac.id/pena/article/view/6706/4236

5. https://osf.io/f3z62/download/?format=pdf

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Guest Comment