Beberapa program di bawah payung Merdeka Belajar, seperti “Sekolah Penggerak”, berkolaborasi dengan sekolah dan guru unggulan untuk mempromosikan praktik belajar yang progresif, seperti sistem rencana pembelajaran yang berpusat pada minat dan kebutuhan siswa (customized learning) ketimbang kurikulum yang kaku.
Namun, berbagai pihak kini mulai meragukan efektivitas Merdeka Belajar di tengah intensnya pembelajaran digital akibat COVID-19.
Salah satu masalah utama di masa pandemi adalah banyak guru hanya memindahkan metode mengajar tatap muka ke ranah online, yang hasilnya berantakan.
Banyak dari mereka tidak dilatih untuk menyerahkan tanggung jawab pembelajaran secara penuh pada murid saat kondisi normal, apalagi ketika kelas dilaksanakan secara online.
Guru kesulitan menarik atensi murid melalui kelas Zoom dan terkadang hanya via WhatsApp – bahkan lebih kesulitan lagi mengevaluasi apakah murid benar-benar belajar.
Pada akhirnya, banyak guru memilih untuk sekadar memberikan tugas mingguan pada murid dan berharap mereka belajar secara mandiri. Tapi apakah mereka bisa?
Seperti kata pepatah Inggris: You can lead a horse to water, but you can’t make it drink. (Kita bisa menuntut seekor kuda ke sumber air, tapi kita tidak bisa memaksanya untuk minum)
Memberikan para murid kemerdekaan untuk belajar tidak lantas membuat mereka benar-benar belajar.
Di kelas offline pun, banyak murid kesulitan menentukan rencana belajar mereka sendiri.
Kebijakan Merdeka Belajar bukanlah program yang pertama di dunia. Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa terkait customized learning, yang bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia.
Pada tahun 1994, Norwegia meluncurkan Reform94 untuk memberi siswa remaja lebih banyak pilihan dan tanggung jawab dalam pembelajaran. Misalnya, mendorong mereka bekerja sama dengan guru untuk merancang kegiatan belajar mereka.
Namun, beberapa evaluasi nasional justru menemukan bahwa hanya siswa unggulan yang punya motivasi cukup untuk belajar secara mandiri – kebanyakan murid lain tidak. Niat baik kebijakan tersebut gagal terealisasi di lapangan.
Para murid tersebut telah terlanjur terlalu bergantung pada guru untuk menentukan apa yang harus mereka pelajari dan bagaimana pengajarannya yang tepat.
Ketika praktik online learning menjadi gencar akibat COVID-19, kami mengamati pola yang serupa di mana siswa menjadi semakin terisolasi dan ditinggalkan tanpa bimbingan.
Bahkan Norwegia – yang sering digadang-gadang sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik – tetap menghadapi tantangan hilangnya capaian belajar (learning loss) dan pudarnya fokus belajar siswa di tengah bolak-balik antara sekolah online dan offline.
Jadi, ketika jarak antara guru dan murid senantiasa melebar, bagaimana kita mendorong siswa mengambil alih proses belajar mereka secara mandiri?
Mendesain lingkungan belajar yang fokus utamanya adalah online.
Pandemi ini telah mengajarkan pada kita tentang pentingnya lingkungan belajar digital yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi siswa. Murid tidak akan repot-repot berusaha belajar secara mandiri apabila mereka sudah terlebih dulu kehilangan minat belajar.
Hal ini membutuhkan periode mengajar yang lebih pendek, dipadu dengan sesi praktik dan evaluasi yang sama pendeknya.
Pandemi ini telah mengajarkan pada kita tentang pentingnya lingkungan belajar digital yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi siswa. (Pexels/Katerina Holmes), CC BY
Bagi beberapa guru, bentuknya bisa dengan mengubah sesi belajar yang biasanya beberapa jam menjadi pecahan masing-masing 30 menit berisi materi belajar dan aktivitas yang disebar selama periode satu minggu. Dengan begini, murid bisa mempelajari materi tentang DNA, misalnya, dengan kecepatan mereka sendiri selama seminggu tersebut.
Praktik-praktik seperti ini telah lama diterapkan oleh sekolah terbesar di Selandia Baru, bernama Te Kura, dan merupakan fondasi dari lingkungan belajar digital yang efektif.
Te Kura berdiri pada tahun 1922. Pada jaman pra-digital itu, materi ajar dan tugas dikirimkan dan dikembalikan oleh siswa melalui pos untuk kemudian dinilai dan dievaluasi.
Artinya, bahkan jauh sebelum pandemi, Te Kura telah mengadopsi model pengajaran yang beragam, dari sepenuhnya online hingga kelas tatap muka ketika memang dibutuhkan.
Berbagai sumber daya pembelajaran dan platform yang mereka gunakan telah teruji efektivitasnya – para guru sudah menguasai bagaimana caranya mempertahankan atensi belajar murid saat COVID menerpa, dan layaknya menekan saklar, mereka dengan mudah pindah ke pengajaran yang sepenuhnya online.
Konektivisme –- kuncinya ada di sekitar kita
Tapi, seiring waktu berjalan, kunci dari membuat murid belajar secara mandiri adalah membantu mereka “terhubung secara digital” dengan satu sama lain maupun dunia di sekitar mereka.
Psikolog pendidikan George Siemens menjelaskan hal ini dengan baik melalui teorinya tentang “konektivisme” – belajar melalui berbagai jaringan sumber ilmu yang saling terkoneksi.
Dalam bahasa yang sederhana, konsep ini mengatakan bahwa dalam dunia yang senantiasa berubah menjadi online, kita belajar paling baik melalui aktivitas membaca dan mengonsumsi informasi yang terjadi secara spontan.
Contohnya adalah membaca artikel berita, menonton video TED Talks di waktu luang, membaca e-book tentang beragam topik, atau sesimpel bersilaturahmi dengan rekan kerja atau teman sekolah lewat Zoom – mengakses sumber-sumber keahlian yang telah diakumulasi oleh orang lain selama bertahun-tahun.
Karena menawarkan pengalaman “belajar di mana saja, kapan saja”, sumber-sumber tersebut sangat cocok dijadikan metode mengajar di dalam suatu lingkungan pembelajaran digital.
Dalam menyukseskan kebijakan Merdeka Belajar, tidak cukup jika kita hanya memberi ruang bagi siswa untuk merancang pendidikan mereka sendiri. Sekolah dan guru juga harus mendesain lingkungan pembelajaran digital yang benar-benar bisa mempertahankan atensi, motivasi, dan kemandirian mereka untuk belajar.