Pages

Labels

9/7/11

Biografi : 11 Wakil Presiden Republik Indonesia

Digital Online Class - Inilah 10 Wakil Presiden Republik Indonesia sejak merdeka tahun 1945

1. DR Mohammad Hatta

Biografi
Lahir: Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat: Jakarta, 14 Maret 1980
Istri: Rahmi Rachim (alm)

Anak:
• Meutia Farida
• Gemala
• Halida Nuriah

Gelar Pahlawan: Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan:
• Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
• Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
• Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta (1921)
• Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs) (1932)

Karir:
• Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang (1916-1919)
• Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta (1920-1921)
• Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
• Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin (1927-1931)
• Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) (1934-1935)
• Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
• Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
• Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
• Proklamator Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945)
• Wakil Presiden RI pertama (18 Agustus 1945)
• Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948-Desember 1949)
• Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana (1949)
• Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS (Desember 1949-Agustus 1950)
• Mengundurkan diri dari jabatan Wapres (1 Desember 1956)
• Dosen di Sesko AD, Bandung (1951-1961)
• Dosen di UGM, Yogyakarta (1954-1959)
• Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
• Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda

Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra?jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra?jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra?jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933). Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul ?Krisis Ekonomi dan Kapitalisme?

Masa Pembuangan

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari. Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid). Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang

Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, ?Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.” Proklamasi Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal. Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya. Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta.

2. Sultan Hamengkubuwono IX

Biografi

Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun.

Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.

Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja. Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung.

Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939. Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX.

Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya. Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta.

Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana.

Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa.” Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: “Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.” Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen.

Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyataak keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta.

Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.

Jabatan yang Pernah Diemban oleh HB IX:

• Selepas Proklamasi 1945 Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Militer DIY
• Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 sampai 27 Juni 1947) Menteri Negara
• Kabinet Amirsyarifuddin I & II (3 juli 1947 s.d. 11 November 1947 dan 11 November 1947 s.d. 28 Januari 1948) Menteri Negara
• Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949) Menteri Negara
• Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri
• Pada masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) Menteri Pertahanan
• Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951) Wakil Perdana Menteri
• Tahun 1951 Ketua Dewan Kurator UGM Yogyakarta
• Tahun 1956 Ketua Dewan Pariwisata Indonesia
• Tahun 1957 Ketua Sidang ke-4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan menjadi Ketua Pertemuan Regional ke-11 Panitia Konsultatif Colombo Plan
• Tahun 1958 Ketua Federasi Asean Games
• 5 Juli 1959 Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
• Tahun 1963 Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata 21 Februari 1966 Menteri Koordinator Pembangunan
• 11 Maret 1966 Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (Ekubang)
• Tahun 1968 Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
• Tahun 1968 Ketua Umum KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia)
• Tahun 1968 Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi PATA (PAsific Area Travel Association) di California, Amerika Serikat
• 25 Maret 1973 Wakil Presiden RI
23 Maret 1978 Mengundurkan diri sebagai Wapres RI dengan alasan kesehatan 1 Oktober 1988 Kembali ke Rahmatullah di RS George Washington University Amerika Serikat pukul 04.30 waktu setempat 8 Oktober 1988 Jenasah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dimakamkan di Astana Saptarengga, Komplek Pemakaman Raja Mataram di Imogiri, 17 km Selatan Kota Yogyakarta (tokohindonesia.com)

3. Adam Malik

Biografi

Adam Malik mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, yang saat itu menjabat Ketua DPR / MPR, terpilih sebagai Wakil Presiden ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, karena beliau tidak berkenan menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia lagi.

Adam Malik menunjuk Ali Alatas sebagai Sekretaris Wakil Presiden RI, menggantikan Prof. Selo Soemardjan. Ali Alatas adalah seorang diplomat karier yang waktu itu sedang memangku jabatan sebagai Kepala Perwakilan / Perutusan Tetap Republik Indonesia di PBB, dengan gelar Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh berkedudukan di Jenewa Swiss.

Pada periode Sekretaris Wakil Presiden dijabat Ali Alatas ini, telah dibangun suatu gedung baru yang terletak di Jalan Kebon Sirih No. 14. Gedung tersebut sekarang dikenal sebagai kantor Kelompok Dharma Wanita Sekretariat Wakil Presiden yang berhubungan dengan Auditorium Istana Wakil Presiden.

Dengan keadaan dan kondisi yang semakin baik, maka kantor Sekretariat Wakil Presiden semakin bertambah kegiatannya. Istana Wakil Presiden RI mempunya dua pintu masuk, selain Jalan Merdeka Selatan No. 6 juga Jalan Kebon Sirih No. 14. Setelah Ali Alatas menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia PBB di New York, Sekretaris Wakil Presiden dijabat oleh Ferdy Salim (selama enam bulan) yang sebelumnya sedang menjabat sebagai Duta Besar RI di Kairo Mesir.

4. Umar Wirahadikusumah

Biografi

Nama: Umar Wirahadikusumah, Jenderal Purn
Lahir: Situraja, Sumedang, Jawa Barat, 10 Oktober 1924
Agama: Islam
Jabatan Terakhir: Wakil Presiden RI (1983-1988)

Meninggal: Jakarta, 21 Maret 2003
Anak: Rini Ariani dan Nila Shanti
Cucu: Enam orang

Pendidikan Umum:

• Eropesche Lagere School (1935-1942)
• MULO (1942-1945)
• SMA (1955-1957)
• Universitas Padjadjaran (1957)

Pendidikan Militer:

• Sunen Dancho (1943)
• PETA (1944)
• Chandra Muka (1951)
• SSK AD (1955)
• Sus Jenderal (1966)

Karir:

• Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Cicalengka (1945)
• Wakas Res. X Tasik (1946)
• Ajudan Panglima Kodam (Pangdam) VI
• Dirlat di Garut (1947)
• Komandan Batalyon (Danyon) 1-U/III Cirebon (1947)
• Danyon IV/Be XIII Solo (1949)
• Komandan Komando Militer Kota (Dan KMK) Cirebon
• Kas Ur Ex Knil Div Siliwangi (1950)
• Ka Su-II Div. Siliwangi (1951)
• Kas Brigif-L Cirebon (1952)
• Dan Res XI/Cop Sektor A-1 (1952-l953)
• I nspektur Jenderal (Irjen) T & TIll (1953-1954)
• Pengganti Sementara (Pgs) Su.2 TT III (1954-1957)
• Dan Men 10-Dan RTP Sibolga (1957)
• Komandan Komando Militer Kota Besar (Dan KMKB) Jakarta Raya (1959)
• Pejabat (Ps) Pangdam V/Jaya-I (1960)
• Pangdam V/Jaya-1 (1961-l965)
• Panglima Komando Strategi Tjadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) (1965-l967)
• Pangkolaga (1966)
• Wakil Panglima Angkatan Darat (Wapangad) (1967.1969)
• Kepala Staf AD -(Desember 1969-AprII1973)
• Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) (1973-l9B3)
• Wakil Presiden RI (1983-1988)

Operasi Militer:

• Perlucutan senjata Jepang di Cicalengka/Tasikmalaya (l945)
• Kerusuhan “Merah” di daerah Cirebon, Breber dan Tegal (1946-1947)
• Clash I (1947-l948)
• Wehr Kreise II/Daerah Gerilya III Kuningan Barat sebagai Komandan Batalyon I Brigade Cirebon (1947 -l948)
• Menghacurkan pasukan Sutan Akbar Ciniru/Kuningan (1947)
• Menumpas Peristiwa Madiun sebagai Komandan Batalyon IV (l948-l950)
• Clash II sebagal Komandan Ko Troepen Long Mars Solo-Tasikmalaya Barat-Clamis Utara (1948-1950)
• Penumpasan Darul Islam (Dl) Jawa Barat (1950-1952)
• Penumpasan PRRI di Tapanuli (1958)
• Penumpasan G-30-S/PKI sebagai Pangdam V/Jaya (l965)

Penghargaan:

• Bintang Dharma
• Bintang Gerilya
• Kartika Eka Paksi I-II-III
• Jalasena Klas I-II
• Bhayangkara I-II
• Kesetiaan 24 (XXIV) tahun Perang Kemerdekaan I-II
• GOM I-II-V
• Sapta Marga
• Wira Dharma
• Lencana Penegak
• Dwija Sista
• Das Gross Vergenst Kreus Jerman
• Legion of Merit USA
• Orde van Oranye Nassau-Nederland
• Panglima Setia Mahkota-Malaysia
• Bintang Keamanan no 1 dari Korea Selatan
Alamat: Jalan Teuku Umar No.61 Jakarta Pusat Mantan Wakil Presiden RI ke-4 (1983-1988)

Umar Wirahadikusumah menghembuskan napas terakhir, sekitar pukul 07.53 WIB, Jumat 21 Maret 2003 di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, setelah sempat mendapat perawatan intensif selama dua pekan. Ia seorang putera terbaik bangsa yang jujur, rendah hati, taat pada aturan main dan lebih banyak bekerja daripada berbicara. Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini juga dinilai relatif bersih dari KKN. Ia juga orang yang legowo, tidak ambisius, menerima apa adanya. Mantan Pangkostrad kelahiran Situraja, Sumedang, Jawa Barat 10 Oktober 1924, yang wafat pada usia 79 tahun, ini meninggalkan seorang istri, Ny Karlinah Djaja Atmadja, yang dinikahinya 2 Februari 1957, dan dua orang anak, Rini Ariani dan Nila Shanti, serta enam orang cucu. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat petang pukul 16.00, dengan upacara militer yang dipimpin mantan Wapres Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan komandan upacara Kolonel Tisna Komara (Asisten Intelijen Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat/Kostrad). Ia menderita penyakit jantung selama 13 tahun dan telah menjalani operasi by pass jantung tahun 1989 di Herz Und Diabetes Zentrum di Badoeyhausen, Jerman. Setelah operasi jantung tersebut, kesehatan almarhum cukup baik, bahkan tetap bisa berolahraga golf. Namun sejak September 2002, jantung mantan Pangdam V Jakarta Raya (1960-1966) ini kembali mengalami gangguan dan harus menjalani perawatan lagi di Jerman. Sepulang dari perawatan di Jerman, ia terus menjalani home care karena daya pompa jantungnya telah sangat melemah dan adanya bendungan pada paru sehingga mengakibatkan sesak napas. Sejak 5 Maret 2003, ia dirawat di paviliun Kartika RSPAD, sejak 8 Maret 2003, mendapat perawatan di ruang ICU, hingga akhirnya wafat. Setelah dimandikan di rumah duka RSPAD, sekitar pukul 12.00 WIB, jenazahnya diusung ke Mesjid Istiqlal untuk disembahyangkan. Kemudian, epat pukul 13.00, tiba di rumah kediaman Jl Teuku Umar No.61, Jakarta Pusat untuk disemayamkan. Beberapa tokoh melawat di antaranya mantan Presiden Soeharto, Presiden Megawati Soekarnoputri, Wapres Hamzah Haz, mantan Presiden ke-3 RI BJ Habibie, Mantan Wakil Presiden (Wapres) Sudharmono, Menko Kesra Jusuf Kalla, KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, Pangkostrad Letjen Bibit Waluyo, Pangdam Jaya Mayjen Djoko Santoso, dan Kepala BIN Hendropriyono. Upacara pelepasan jenazah di rumah duka dipimpin oleh KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu dengan komandan upacara Kolonel M Nizam (Asisten Perencanaan Kostrad). Penerima beberapa penghargaan (bintang jasa) ini dikenal sebagai sosok pejabat yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Ia juga seorang yang sangat taat pada aturan. Ia tidak suka melihat staf atau pejabat lain yang tidak menaati peraturan. Ia juga orang yang rendah hati dan tak mau menonjol-nonjolkan diri. Ia bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu atau jabatan. Ketika ia dipilih menjadi Wakil Presiden (1983-1988), banyak kalangan tidak menduga sebelumnya. Tapi sosoknya yang tidak ambisius rupanya telah menempatkannya memperoleh kepercayaan dari Presiden Soeharto ketika itu. Saat ia digantikan Sudharmono sebagai Wakil Presiden, tak sedikit pun tampak rasa kecewa dalam penampilannya. Ia orang yang legowo. Ia juga orang yang relatif bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Maka ketika pemerintahan Orde Baru berakhir, dimana banyak pejabatnya disorot karena diduga terlibat KKN dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, ia tidak pernah diusik. Sebab ia tergolong yang relatif bersih di antara banyaknya pejabat yang diduga bergelimang KKN. Putera kelima dari pasangan Raden Rangga Wirahadikusumah (Wedana Ciawi, Tasikmalaya) dan Raden Ratnaningrum (putri Patih Demang Kartamenda di Bandung), ini memperoleh pendidikan di Eropesche Lagere School (1935-1942) MULO (1942-1945), SMA (1955-1957) dan Universitas Padjadjaran (1957). Memulai pendidikan kemiliteran pada zaman Jepang. Ia mengikuti latihan pemuda Seinendojo (Sunen Dancho) Tangerang (1943), lalu masuk latihan perwira (Shoodanchoo) Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor (1944). Kemudian pendidikan Chandra Muka (1951), SSK AD (1955) hingga Sus Jenderal (1966). Perjalanan karirnya dimulai sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Cicalengka, Jawa Barat (1945). Pada masa awal Revolusi itu, sejumlah pemuda Sunda bergabung masuk tentara. Sebagian dari mereka berasal dari keluarga bangsawan, di antaranya Umar Wirahadikusumah (zoon van de Wedana van Ciawi Tasikmalaya). Ia masuk tentara atas kesadarannya sendiri untuk membela tanah air. Anak bangsawan yang sudah berpendidikan formal MULO (SMP) mendirikan TKR di Cicalengka taanggal 1 September 1945. Kemudian menjadi Wakas Res. X Tasikmalaya (1946) dengan pangkat kapten. Lalu menjadi Ajudan Panglima Kodam (Pangdam) VI Siliwangi (yang ketika itu dijabat AH Nasution). Setelah itu menjadi Dirlat di Garut (1947) serta Komandan Batalyon (Danyon) 1-U/III Cirebon (1947). Kemudian dipercaya menjabat Danyon IV/Be XIII Solo (1949), Komandan Komando Militer Kota (Dan KMK) Cirebon, Kas Ur Ex Knil Div Siliwangi (1950), Ka Su-II Div. Siliwangi (1951), Kas Brigif-L Cirebon (1952), Dan Res XI/Cop Sektor A-1 (1952-l953) dan lnspektur Jenderal (Irjen) T & TIll (1953-1954). Ia pun sempat menjadi Pengganti Sementara (Pgs) Su.2 TT III (1954-1957) sebelum menjabat Dan Men 10-Dan RTP Sibolga dengan pangkat Letkol (1957). Dari Sibolga, ia dipromosikan menjabat Komandan Komando Militer Kota Besar (Dan KMKB) Jakarta Raya (1959). Lalu menjadi Pejabat (Ps) Pangdam V/Jaya-I (1960) sampai menjadi Pangdam V/Jaya-1 (1961-l965) dengan pangkat kolonel kemudian Brigjen. Pada saat menjabat Pangdam V/Jaya ini ia ikut menumpas G-30-S/PKI. Selain penumpasan G-30-S/PKI, ia juga banyak terlibat dalam operasi militer, mulai dari perlucutan senjata Jepang di Cicalengka/Tasikmalaya (l945), Kerusuhan “Merah” di daerah Cirebon, Breber dan Tegal (1946-1947), Clash I (1947-l948), dan Wehr Kreise II/Daerah Gerilya III Kuningan Barat sebagai Komandan Batalyon I Brigade Cirebon (1947 -l948). Ia juga ikut dalam operasi penghancuran pasukan Sutan Akbar Ciniru/Kuningan (1947), penumpasan Peristiwa Madiun sebagai Komandan Batalyon IV dengan pangkat mayor (l948-l950), Clash II sebagal Komandan Ko Troepen Long Mars Solo-Tasikmalaya Barat-Clamis Utara (1948-1950), penumpasan Darul Islam (Dl) Jawa Barat (1950-1952), dan penumpasan PRRI di Tapanuli (1958). Kehandalannya mendukung Panglima Kostrad Mayjen Soeharto menumpas PKI, ia pun dipercaya menjabat Panglima Komando Strategi Tjadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) (1965-l967) menggantikan Mayjen Soeharto sendiri. Beberapa bulan kemudian diangkat menjadi Pangkolaga (1966). Lalu menjadi Wakil Panglima Angkatan Darat (Wapangad) (1967-1969). Karir militernya berpuncak sebagai Kepala Staf AD (Desember 1969-AprII1973). Setelah itu, ia menjabat Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) selama 10 tahun (1973-l983). Kemudian ia terpilih menjabat Wakil Presiden RI (1983-1988) mendampingi Presiden Soeharto. Umar seorang prajurit pejuang yang taat beragama. Ia selalu tertib melakukan shalat liwa waktu. Ketika menjabat wakil presiden, pada setiap bulan Ramadhan, dia selalu mengadakan shalat tarawih di Istana Wakil Presiden. Ia juga orang yang tidak suka kemewahan dan berfoya-foya. Ia orang yang sederhana. Saat awal menjabat wapres, ia dan keluarganya enggan meninggalkan rumah pribadinya di Jalan Agus Salim yang sederhana untuk pindah ke rumah dinas yang sudah disiapkan. Sebenarnya ia lebih senang tinggal di rumah yang mungil dan sederhana itu. Namun, karena jabatannya, dan setelah melalui perdebatan yang sedikit alot, akhirnya ia bersedia pindah ke rumah dinas dan menggunakan mobil dinas wapres yang disediakan Sekretariat Negara. Ia satu di antara sedikit pejabat yang berkeinginan memberantas korupsi di negeri ini. Semasa kondisi kesehatannya masih baik, ia sering main tenis, golf dan jalan kaki di waktu pagi di pekarangan rumahnya bersama istrinya. Kini, ia telah pergi, dengan meninggalkan kenangan baik bagi bangsanya. (tokohindonesia.com)

5. Sudharmono

Biografi

Letnan Jendral TNI (Purn) Sudharmono SH Ketua cukup lama mendampingi Presiden sebagai Menteri Negara Sekretaris Negara Republik Indonesia, telah terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia ke-5 menggantikan Umar Wirahadikusumah.

Pada periode ini dibentuk Tromol Pos 5000 sebagai sarana pengawasan masyarakat. Selain itu mulai diberlakukan pula kunjungan kerja Wakil Presiden RI ke tiap Propinsi, serta ke Departemen, Kantor Negara dan Lembaga Departemen Non Pemerintah, Wakil Presiden RI selain dibantu oleh Sekretaris Wakil Presiden dan para Asisten Wakil Presiden, juga dibantu oleh sekelompok staf senior dengan status non struktural. Staf senior ini terdiri dari mantan para pejabat Eselon I.

Pada periode ini Rapat Koordinasi Pengawasan juga diselenggarakan setiap tahun. (Selayang Pandang Sekretariat Wakil Presiden)


6. Try Sutrisno

Biografi

Jendral TNI (Purn) Try Sutrisno mantan Panglima ABRI, terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6. Pada masa bhakti Try Sutrisno ini, tugas Wakil Presiden Republik Indonesia bertambah banyak. Selain tugas dalam bidang pengawasan, juga diberikan tugas khusus oleh Presiden Republik Indonesia sebagai Ketua Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Bperjanas).

Yang paling menonjol selama masa bhakti Try Sutrisno bagi wakil Presiden RI adalah, adanya peningkatan kemampuan organisasi Sekretariat Wakil Presiden RI dan peningkatan kesejahteraan bagi segenap warga Keluarga Besar Sekretariat Wakil Presiden, serta dimilikinya dana abadi bagi Yayasan Marsela.

Peningkatan kemampuan organisasi Sekretariat Wakil Presiden RI, terlihat jelas setelah adanya upaya dan kerja keras pimpinan dalam meningkatkan kemampuan pegawai, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana kantor untuk mendukung tugas, peningkatan efisiensi dan efektivitas kerja, serta peningkatan kesejahteraan pegawai. Peningkatan kemampuan juga terjadi pada Yayasan Marsela.

Yayasan yang bergerak dalam upaya menyejahterakan pegawai Sekretariat Wakil Presiden RI, sejak bulan November 1994 memiliki Dana Abadi sebesar Rp. 10 Milyar. Dengan meningkatnya kemampuan Yayasan Marsela, maka cita-cita para Wakil Presiden RI, baru dapat terwujud pada masa bhakti Try Sutrisno.

Bahkan yang dapat diberikan beliau melalui Yayasan Marsela, bukan hanya berupa tanah kavling, melainkan beserta rumahnya yang kuat, rapi dan layak huni. Pada periode Try Sutrisno, kunjungan ke luar negeri yang telah dilakukan adalah ke Brunei Darussalam pada tanggal 14 Juli 1993, dalam rangka menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Seri Baginda Sultan dan Yang Di – Pertuan Negara Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah.

Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1994, mengadakan kunjungan ke Australia, dalam rangka menghadiri seminar: “Regional Security in the Asia-Pacific Towards 2003″, di kampus Australia Defence Force Academy di Canberra. Try Sutrisno pada seminar tersebut membawakan makalah dengan judul: “Strategic Dynamics and Security in the Asia-Pacific Region”. (Selayang Pandang Sekretariat Wakil Presiden)

7. B.J. Habibie

Biografi

Habibie dilahirkan di Sulawesi pada tahun 1936. Habibie mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk belajar Teknik Pembuatan Pesawat Terbang di Aachen, Jerman.

Setelah meraih gelar doktor pada tahun 1965, habibie bergabung dengan industri pesawat terbang Hamburger Flugzeugbau (HF) dan kemudian pabrik pesawat terbang, dimana dia menjadi wakil presidennya.

Pada tahun 1974, Soeharto meminta Habibie untuk kembali ke Indonesia, and menempatkannya sebagai pimpinan perusahaan perminyakan stategis.

Pada tahun 1978, Habibie ditunjuk sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Jabatan ini dipegangnya sampai akhirnya pada Maret 1998 dia dinobatkan sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Sewaktu menjabat sebagai Menristek, Habibie terkenal sebagai penyokong proyek ekonomi keuangan negara yang mahal yang ditujukan untuk membuat Indonesia berkecukupan secara teknologi.

Dengan menggunakan hubungannya dengan perusahaan Jerman, dia memulai dengan merakit helikopter Messerschmitt di sebuah hangar di Bandung. Operasi ini diperluas dengan mempekerjakan 20,000 pekerja dalam membuat pesawat terbang turboprop berukuran kecil dan sedang.

Rencana yang ambisius telah dirancang untuk pesawat terbang komersial buatan Indonesia dalam menyaingi perusahaan angkasa luar Eropa dan Amerika.

Proyek Habibie yang lainnya termasuk pembelian seluruh angkatan laut bekas Jerman Timur yang mahal pada tahun 1990-an, dan rencana untuk sebuah rangkaian reaktor-reaktor nuklir sepanjang pulau Jawa. Titik kritis pada biaya tinggi dari industri-industri ini yang mana sangat bergantung pada proteksi tarif yang sangat mahal dan jumlah penjualan yang terjamin untuk angkatan bersenjata dan perusahaan penerbangan nasional.

Dengan persetujuan Soeharto, Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990. ICMI adalah pusat untuk pengusaha non-China atau pribumi, yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China yang kaya. ICMI mempunyai bank sendiri dan koran harian yang diberi nama Republika. (WSWS.ORG)

8. Megawati Sukarnoputri

Biografi
Nama: Megawati
Nama Lengkap: Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri
Tempat/Tgl. Lahir: Yogyakarta, 23 Januari 1947
Agama: Islam

Karir:
• Anggota DPR/MPR RI (1987-1992)
• Anggota DPR/MPR RI (1999)
• Wakil Presiden RI (1999- 2001)
• Presiden RI (2001 – 2004)

Pendidikan:
• SD s/d SMA Perguruan Cikini
• Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran (1965-1967)
• Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972)

Organisasi:
• Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992)
• Ketua Umum DPP PDI (1993 – 1998)
• Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (1998-2003)
Alamat: Jalan Teuku Umar 27-A, Jakarta Pusat

Diam (tak banyak bicara), akhirnya menjadi suatu kekuatan bagi Megawati. Kendati, mendapat tekanan dan rintangan bahkan caci-maki, dia tetap diam dan sabar. Buahnya, dia pun berhasil menggapai singgasana Presiden RI ke-5. Karena terlalu diam, beberapa pengamat dan lawan politiknya sempat menuding itu sebagai indikasi kebodohan. Namun Megawati tetap diam dan sabar. Para lawan politiknya menjadi semakin penasaran. Setelah menjabat presiden, ia pun tetap tak banyak bicara. Tampaknya, ia tak mudah terombang-ambing.

Puteri Bung Karno ini pun semakin sulit ditebak. Dia memang sudah terbiasa mendapat tekanan sejak ayahandanya, Soekarno, diturunkan dari jabatan Presiden pada SI-MPRS 1996. Selama 32 tahun, Megawati (keluarga Bung Karno), tidak bebas mengekspresikan aspirasi politiknya. Namun, posisi diamnya memberi ruang gerak bagi Megawati, dibandingkan saudara-saudaranya, sehingga dia ‘dibiarkan’ masuk dalam kancah politik, masuk Senayan dan memimpin PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992). Kendati kemudian, ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI (1993-1998), pemerintah Orde Baru menekannya dengan keras. Namun, dia teguh dalam perjuangan dan tetap juga diam. Sehingga, Megawati patut disebut sebagai simbol penerima tekanan Orde Baru. Sekaligus simbol perlawanan secara damai dan tak banyak bicara.

Diam-nya Megawati, tidak hanya mengecoh pemerintah Orba, bahkan telah membuat Gus Dur, yang terkenal piawai berpolitik, menjadi sesumbar. Gus Dur yang berhasil ‘menangkap’ peluang menjadi Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1999, yang sepatutnya peluang itu adalah milik Megawati, terkesan terlalu meremehkan Megawati. Megawati yang sudah ‘mengalah’ berkenan menjadi Wakil Presiden — kendati partainya PDI-P memperoleh suara terbanyak (35%) dibanding PKB hanya 10% pada Pemilu 1999 — tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Di antaranya, pengangkatan dan pemberhentian menteri. Kesan kuat yang mengindikasikan bahwa Gus Dur menganggap remeh Megawati berpuncak pada pemberhentian kader PDIP Laksamana Sukardi, dari jabatan Menteri BUMN.

Laksamana diberhentikan bersama Yusuf Kalla, kader Partai Golkar, tanpa sepengetahuan Megawati dan tanpa alasan yang jelas. Sejak saat itu, si pendiam Megawati secara nyata mengambil jarak ‘sahabat-saudara’ dan jarak politik dengan Gus Dur. Eskalasi politik pun bergeser cepat 180 derajat. Partai-partai berbasis Islam (PPP, PAN, PBB, PK dll), yang pada Sidang Umum MPR 1999 ‘sangat anti’ Megawati, memanfaatkan jarak renggang Mega-Gus Dur, dengan membentuk ‘aliansi’ atau kesepahaman politik baru dengan PDI-P. Sebab, partai-partai berbasis Islam itu sudah lebih dulu merasa ‘disepelekan’ Gus Dur. Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sudah lebih dulu didepak dari kabinet. Kemudian menyusul Bambang Sudibyo (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) dan Nurmahmudi Ismail (PK), masing-masing dipecat dari jabatan Menkeu, Menkeh dan Menhutbun. Disusul lagi Bomer Pasaribu dan Mahadi Sinambela dari Partai Golkar diberhentikan dari jabatan Menaker dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Maka ketika menggelinding kasus Bulogate, yang melibatkan Gus Dur dan lingkarannya, PDIP menjadi berseberangan dengan Gus Dur dan PKB-nya.

Terbentuklah Pansus Bulogate DPR-RI, yang berujung pada jatuhnya Gus Dur pada Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001. SI-MPR itu dipercepat sebagai perlawanan atas Dekrit Presiden Gus Dur yang nekad membubarkan DPR/MPR. SI-MPR itu secara aklamasi menobatkan Megawati menjabat Presiden RI periode 2001-2004. Kepatutan politik pun terwujud. Ketua umum partai pemenang Pemilu menjadi Presiden. Terwujudlah amanat Kongres PDIP di Bali yang menghendaki Megawati menjadi Presiden. Kekalahan tipis Megawati atas KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Sidang Umum 1999, yakni 313 banding 373, terbalas dengan kemenangan telak pada SI-MPR 2001. Tampaknya PDIP tak mau terkecoh untuk kedua kali oleh kepiawian politik Gus Dur. Megawati, tentu juga belajar dari kesalahan Gus Dur. Sehingga PDIP mendukung Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) sebagai Wakil Presiden. Padahal Hamzah Haz adalah pemimpin salah satu partai yang tidak menghendaki Megawati jadi presiden dan menjadi pesaing Megawati pada pemilihan Wakil Presiden pada SU-MPR 1999, yang dimenangkan Megawati dengan suara 396 banding 284. Pada mulanya, dalam posisi Wapres, Megawati tampak tulus mendampingi Gus Dur. Hubungan Megawati sebagai Wapres dengan Gus Dur sebagai Presiden mesra-mesra saja. Tetapi akibat kesalahan Gus Dur, yang terkesan meremehkan Megawati, hubungan itu memburuk.

Makan pagi yang biasanya dilakukan tiap Rabu di kediaman resmi Megawati, tidak lagi diadakan. Bahkan, Megawati pelan-pelan menunjukkan ketidaksepahamannya dengan Gus Dur, baik lewat pernyataannya maupun lewat orang-orang di sekitarnya. Mega jarang hadir pada rapat kabinet yang dipimpin Gus Dur, termasuk pelantikan pejabat baru di kabinet. Mega juga tidak hadir pada pertemuan parpol yang digagas Gus Dur di Istana Bogor. Bahkan, Megawati melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol di rumah pribadinya di Kebagusan, Jakarta Selatan, satu bulan menjelang SI-MPR 2001. Puteri proklamator ini dilahirkan di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Fatmawati melahirkannya dalam suasana yang tidak nyaman.

Ketika itu hujan turun deras, atap rumah bocor, guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar dan tanpa listik. Mega lahir dalam suasana cahaya temaram lampu minyak tanah. Menurut kerabat, suasana kelahiran Megawati itu menjadi semacam pertanda untuk perjalanan hidupnya kemudian. Memang, setelah Soekarno jatuh, Mega dan keluarga mendapat cobaan dan tekanan politik yang cukup berat. Mega dan saudara-saudaranya terasing dari dunia ramai. Mereka hidup dalam kondisi yang tertekan. Sampai-sampai kuliah Megawati di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972) tak bisa diselesaikannya. Ditambah lagi cobaan hidup pribadi yang dialaminya. Suami pertamanya, Lettu (Penerbang) Surindro Supjarso hilang dalam kecelakaan jatuhnya pesawat Skyvan T-701 yang dipilotinya di Biak, Irian Jaya tahun 1970. Padahal saat itu Megawati tengah mengandung anak kedua. Sampai kini Surindro tidak pernah ditemukan. Kemudian, tahun 1972 Mega menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hasan, seorang diplomat Mesir yang sedang bertugas di Jakarta. Tetapi perkawinan itu, kemudian dibatalkan karena Mega masih dianggap terikat perkawinan yang sah dengan Surindro. Sebab, ketika itu belum ada kepastian mengenai nasib suami pertamanya itu.

Baru beberapa saat kemudian, ada kepastian dari Angkatan Udara bahwa Surindro telah gugur dalam musibah jatuhnya pesawat itu. Tak lama setelah itu, Mega menikah dengan Taufik Kiemas, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) asal Sumatera Selatan. Pada masa kecilnya, Megawati banyak menikmati pengalaman indah. Maklum, sebagai puteri presiden, Megawati menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Istana Merdeka. Dari kecil, dia sudah menampakkan sosok lembut dan pendiam. Namun, dia senang menari. Bahkan kerap menari di hadapan tamu-tamu ayahnya di istana. Selain itu, Adis — panggilan Megawati oleh Bung Karno — suka dengan tanaman. Dia pun berkebun anggrek di salah satu sudut istana. Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega — panggilan akrab para pendukungnya — tidak terbilang piawai dalam dunia politik.

Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Dia bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. Mega berkenan dan tampak enjoy. Karena, mungkin, dia telah lama menunggu terbukanya kesempatan itu. Kendati saat itu dia nekad mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Mega tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara dibanding para pembicara lain. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan Mega pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula dia terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Dia lebih banyak diam. Kinerjanya sebagai anggota dewan dinilai kurang.

Posisi primadona masa kampanye, tidak tercermin pada dirinya saat duduk di legislatif itu. Bahkan dia sering tak datang ke DPR. Tampaknya, Megawati tahu bahwa dia masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, dia pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka dia memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu. Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI.

Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta. Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Pemerintah terperangah. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu. Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega.

Puluhan pendukung Mega tewas pada Peristiwa 27 Juli itu. Aksi penyerangan itu berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta. Beberapa aktivis pemuda dan mahasiswa ditangkap dan dipenjara. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas. Sosok Mega, yang sebelumnya dianggap biasa saja, malah muncul menjadi simbol dan pemegang kendali perlawanan kepada rezim Orde Baru yang sudah 32 tahun berkuasa. Mega, secara sadar atau tidak, akhirnya dibesarkan dan dimatangkan oleh tekanan berlebihan dan telanjang dari penguasa Orde Baru. Tanpa tekanan berlebihan penguasa, kekuatan Mega belum tentu terbentuk sedemikian rupa. Mega yang pendiam, tampaknya sangat menyadari hal itu. Dia pun tahu diri atas kekuatannya. Lalu, dia berupaya menghindari perlawanan dengan kekerasan. Dia tidak mau membenturkan massanya dengan aparat dan kekuatan Orde Baru. Dia memilih jalur hukum, walau pun kemudian kandas di pengadilan. Kendati demikian, Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.

Namun, kondisi ini makin memancarkan kekuatan Mega. Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat, pada pemilu 1997 itu. Sebab, terbukti perolehan suara PDI pimpinan Soerjadi merosot tajam. Banyak massa pendukung PDI memilih golput, seperti halnya Mega sendiri. Sebagian lagi berpaling ke Partai Persatuan Pembangunan, yang melahirkan istilah “Mega Bintang”. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Massa pendukung Mega mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden, akan terjadi revolusi. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah. Massa pendukung Mega lantas mengamuk di sejumlah kota seperti Bali, Solo, Medan dan Jakarta. Namun, setelah Mega terpilih sebagai Wapres, amukan massa PDIP itu pun reda. Mereka ditenangkan oleh Mega sendiri.

Mega dalam pidato pelantikannya sebagai Wapres menyampaikan pesan: “Kepada anak-anakku di seluruh tanah air, saya minta untuk bekerjalah kembali dengan tulus, janganlah melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena di dalam mimbar ini kamu melihat ibumu berdiri.” Massa pendukung Mega pun lega dan harus puas menerima kenyataan, Mega di posisi kedua. Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi pertama di negeri berpenduduk lebih 210 juta jiwa ini. Sebab kurang dari dua tahun, anggota Majelis secara aklamasi menempatkannya duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Kenyataan ini, membuktikan bahwa diam Megawati itu emas. (tokohindonesia.com)


9. Dr (HC) H Hamzah Haz

Biografi
Lahir: Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940
Agama: Islam
Pendidikan:
• SMP, Pontianak, Kalimantan Barat
• SMEA, Pontianak, Kalimantan Barat
•Akademi Koperasi Negara, Yogyakarta (1962) Jurusan Ekonomi Perusahaan, Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak (tingkat V, 1970)

Karir:
• Guru SM Ketapang (1960-1962)
• Wartawan suratkabar Bebas, Pontianak, Kalimantan Barat (1960-1961)
• Pimpinan Umum Harian Berita Pawau, Kalimantan Barat
• Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, (1962)
• Ketua Badan Pemeriksa Induk Koperasi Kopra Indonesia (1965-1970)
• Ketua Presidium KAMI Konsulat Pontianak (1968-1971)
• Asisten Dosen di Universitas Tanjungpura Pontianak (1968- 1971)
• Anggota DPRD Tk I Kalimantan Barat (1968-1971)
• Anggota DPR RI (1971-2001)
• Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM (1998-1999)
• Wakil Ketua DPR (1999-2001)
• Menko Kesra dan Taskin (1999)
• Wakil Presiden RI (26 Juli 2001-2004)
Alamat rumah: Jalan Tegalan No. 27 Jakarta Timur

Hamzah dikenal sebagai orang yang sederhana. Ia bermukim di Jalan Tegalan 27, Matraman, Jakarta Timur.

Hamzah Haz didampingi dua istri. Keduanya telah menjadi hajah, Hj Asmaniah (tinggal di Jalan Tegalan 27, lahir 27 Juli 1942) dan Hj Titin Kartini (tinggal di Bogor, lahir 4 Mei 1946).

Dari kedua istri itu, ia memperoleh 12 anak (empat putra, delapan putri). Sejak SMP, ia sudah aktif berorganisasi. Setamat Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Pontianak pada 1961, ia menjadi wartawan surat kabar Pontianak, Bebas. Ia tidak memilih bekerja di bank, sebagaimana teman-temannya yang lulusan SMEA. “Saya lebih suka menjadi wartawan. Di sini saya bisa langsung bergaul dengan masyarakat secara luas,” katanya. Karir jurnalistik hanya sempat dijalaninya selama setahun. Sebab, tahun berikutnya ia ikut ayahnya, anggota Koperasi Kopra yang mendapat tugas belajar di Akademi Koperasi Negara Yogyakarta. “Mengingat koperasi juga menyangkut orang banyak, saya memutuskan untuk ikut kuliah bersama ayah,” kilahnya.

Karena giat organisasi sejak SMP, di kampusnya itu pun ia giat berorganisasi dengan mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Sekaligus ia terpilih menjadi ketuanya. Pada 1965, Hamzah kembali ke Pontianak dan membawa gelar sarjana mudanya. Selanjutnya, ia meneruskan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura dan mengambil jurusan ilmu perusahaan. Di tempatnya kuliah itu, ia sempat jadi asisten dosen. Selanjutnya, statusnya naik menjadi dosen di fakultas tersebut. Di luar kegiatan akademis, ia menjadi Ketua Presidium KAMI Konsulat Pontianak dan mewakili Angkatan 66 di DPRD Kalimantan Barat. Hamzah sempat menjadi Wakil Ketua DPW Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Barat.

Kemudian, mewakili NU ia hijrah ke Gedung DPR/MPR di Senayan pada 1971. Setelah NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, ia terpilih secara terus-menerus menjadi anggota DPR mewakili PPP. Di PPP, ia sudah beberapa periode menjadi pengurus. Terakhir, ia menjadi salah seorang ketua DPP PPP, sebelum akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum DPP PPP pada akhir 1998. Sebagai anggota DPR, Hamzah adalah seorang wakil rakyat yang sangat fasih bicara masalah moneter, khususnya mengenai APBN. Memang, selama di DPR ia selalu masuk dalam komisi APBN.

Terakhir, bersama Umar Basalim, Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menulis buku “Kebijaksaan Fiskal dan Moneter” yang diberi pengantar oleh Prof. Dr. Anwar Nasution. Pada 1998 ia menjadi Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memperkuat kabinet Presiden Habibie. Semula, pria necis berkumis tipis ini sempat enggan mengabulkan ajakan Habibie yang sampai dua kali menelponnya. Ia mengaku, dibandingkan menjadi menteri, ia lebih senang menjadi anggota DPR. Menurutnya, tugas menjadi anggota DPR saja sudah berat, apalagi menjadi menteri yang harus juga mengurusi masalah teknis dan lobi di masa krisis yang belum berakhir. Namun, karena itu adalah tugas negara, maka ia menjalaninya dengan kesungguhan hati. Selama menjadi Meninves/Kepala BKPM, Hamzah tidak menempati rumah dinas bagi menteri. Sebab, ia tidak ingin menjabat posisi menteri selamanya. Tanggal 10 Mei 1999, ia mengundurkan diri dari jabatan menteri karena ada desakan masyarakat agar pimpinan partai tidak duduk sebagai menteri.

Sebagai hasil Pemilu 1999 terbentuk kabinet pimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tanggal 29 Oktober 1999, ia diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin). Tetapi daripada dipecat ia memilih mengundurkan diri pada 26 November 1999 untuk kembali berkonsentrasi penuh memimpin partai. Pada hari Kamis, 26 Juli 2001, Hamzah terpilih sebagai Wakil Presiden ke-9 sejak Republik Indonesia ini berdiri 17 Agustus 1945. Langkah menuju posisi RI-2 yang ditempuh Hamzah Haz bisa dikatakan berliku dan diluar rencana. Hal ini terutama jatuhnya KH Abdurrahman Wahid dari kursi presiden. Otomatis, Megawati yang menjabat wapres naik menjadi presiden. Lowongnya kursi wapres itu tidak langsung ditempati Hamzah, melainkan ia harus melalui proses pemilihan. Ia bertarung menghadapi nama-nama yang cukup dikenal luas seperti Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, mantan Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polsoskam Agum Gumelar, dan Siswono Yudo Husodo. Dalam pemungutan putaran ketiga dalam lanjutan Rapat Paripurna Sidang Istimewa (SI) MPR ia berhasil mengungguli Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Dari 610 suara anggota MPR yang menghadiri sidang itu, Hamzah meraih 340 suara atau unggul 103 suara dari Tandjung yang hanya meraih 237 suara. Suara abstain sebanyak 29 suara, dan empat suara dinyatakan tidak sah. Dalam pidato usai pelantikannya sebagai wakil presiden, Hamzah bertekad akan menjalin hubungan yang harmonis dengan Presiden Megawati Soekarnoputri sehingga bisa membentuk pemerintahan yang efektif. Ia pun mengajak seluruh elemen bangsa untuk melakukan islah (rekonsiliasi nasional). Sikap islah itu ditunjukkannya dengan segera mengunjungi mantan Presiden KH Abdurrahman ”Gus Dur” Wahid di Istana Merdeka, usai terpilih sebagai wakil presiden. Hamzah sebagai Wapres menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Abdurrahman Wahid yang akan berobat ke Amerika Serikat. Itulah perjalanan karir politik Hamzah yang betul-betul dirintis dari bawah. Dan banyak orang yang menilai bahwa selama karirnya di dunia politik, Hamzah tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Karir politiknya tampak datar walaupun ia sudah memimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan konfigurasi empat partai Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi, kemudian disingkat MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. (tokohindonesia.com)

10. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

Biografi

Nama : Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
Tempat/Tgl. Lahir : Watampone, 15 Mei 1942
Alamat Rumah : Jl. Denpasar Raya CIII/9 Kuningan Jakarta Pusat
Isteri : Ny. Mufidah Jusuf
Tempat/Tgl. Lahir : Sibolga, 12 Februari 1943

Anak-anak :

1. Muchlisa Jusuf
2. Muswirah Jusuf
3. Imelda Jusuf
4. Solichin Jusuf
5. Chaerani Jusuf
6. Cucu : (1). Ahmad Fikri; (2) Mashitah; (3) Jumilah Saffanah; (4) Emir Thaqib; (5) Rania Hamidah; (6) Aisha Kamilah; (7) Siti Safa; (8) Rasheed; dan (9) Maliq Jibran.

Pendidikan Terakhir : Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin Makassar, 1967

PENGALAMAN PEMERINTAHAN

• 1999 – 2000 : Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
• 2001 – 2004 : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rayat Republik Indonesia
• 2004 – Sekarang : Wakil Presiden RI

PARTAI GOLKAR

• N P A G : 20000000066
• 1965 – 1968 : Ketua Pemuda Golkar Sulsel
• 1978 – 1999 : Anggota Dewan Penasehat DPD Golkar Sulawesi Selatan
• 1999 – 2005 : Anggota Dewan Penasehat DPP Gololongan Karya (Golkar)
• 2005 – sekarang : Ketua Umum DPP Golkar

LEMBAGA LEGISLATIF
• 1965 – 1968 : Anggota DPRD Sulsel, mewakili Pemuda Sekber Golkar
• 1982 – 1987 : Anggota MPR – RI Utusan Golkar

BIDANG AGAMA
• Ketua Yasan Badan Wakaf Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar
• Bendahara Masjid Raya Makasar
• Mustasyar NU Sulsel
• Ketua Forum Antar-Agama Sulsel

BIDANG OLAHRAGA
• 1980-1990 : Ketua PSM Makassar
• 1985-1992 : Ketua Klub Sepak Bola Makassar Utama
• 1980-1990 : Bendahara PERBAKIN Sulawesi Selatan

BIDANG ORGANISASI MAHASISWA
• 1964-1966 : Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNHAS Makassar
• 1965-1966 : Ketua Umum HMI Cabang Makassar
• 1966-1968 : Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan

BIDANG ORGANISASI PROFESI
• 1985-1997 : Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sulawesi Selatan
• 1997-2002 : Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia
• 1985-1995 : Ketua Umum Ikaan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sulawesi Selatan
• 1987-2000 : Wakil Ketua ISEI Pusat
• 2000-Sekarang : Penasehat ISEI Pusat
• 1990-Sekarang : Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Hasanudin, Makassar.
• 1987-1992 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Golkar
• 1992-1997 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Daerah
• 1997-1999 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Daerah

BIDANG DUNAI USAHA
• 1969-2001 : Direktur Utama NV. Hadji Kalla
• 1969-2001 : Direktur Utama PT. Bumi Karsa
• 1988-2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Teknik Utama
• 1988-2001 : Direktur Utama PT. Bumi Sarana Utama
• 1988-2001 : Direktur Utama PT. Kalla Inti Karsa
• 1995-2001 : Komisaris Utama PT Bukaka Siagtel International

BIDANG SOSIAL/PENDIDIKAN
• 1982-Sekarang : Ketua Umum Yayasan Pendidikan Hadji Kalla
• 1990-Sekarang : Ketua Umum Yayasan pendidikan Al-Gozali Universitas Islam Makassar
• 1975-1995 : Ketua Yayasan Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia, Makassar
• 1975-Sekarang : Ketua Perguruan islam Dutumuseng, Makassar
• 1980-Sekarang :
• Anggota Dewan Penyantun Universitas Hasanudin,
• Anggota Dewan Penyantun IAIN Makassa,
• Anggota Dewan Penyantun UNM/IKIP Makassar.
• 2002-Sekarang : Anggota Wali Amanat IPB-Bogor.
• 2006-Sekarang : Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina.

11. Dr. Boediono

Lahir : Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943

Agama : Islam

Isteri : Herawati

Anak : Dua orang

Pendidikan :

* S1 : Bachelor of Economics (Hons.), University of Western Australia (1967)
* S2 : Master of Economics, Monash University, Melbourne, Australia (1972)
* S3 : Doktor Ekonomi Bisnis Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat (1979)

Pekerjaan :

* Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
* Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan BPR (1996-1997)
* Direktur I Bank Indonesia Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter (1997-1998)
* Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999)
* Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong (2001-2004)
* Menteri Koordinator bidang Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie pada Reshuffle I Kabinet Indonesia Bersatu (2005-2009)

Alamat : Jalan Mampang Prapatan XX No.26, Jakarta Selatan

BIOGRAFI

Dr. Boediono (lahir di Blitar, Jawa Timur25 Februari 1943) adalah seorang pengajar yang merupakan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia saat ini. Boediono adalah Menteri Keuangan Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Sebelumnya pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono menjabat Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Boediono juga pernah menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Saat ini ia mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Boediono memperoleh gelar S1 (“Bachelor of Economics (Hons)”) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar “Master of Economics” diperoleh dari Universitas Monash. Kemudian pada tahun 1979 Boediono mendapatkan gelar S3 (Ph.D) dalam bidang ekonomi dari “Wharton School”, Universitas Pennsylvania.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (Reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu pada 5 Desember 2005, Boediono menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian.

Calon Wakil Presiden (Cawapres) pendamping SBY, Capres Partai Demokrat, ini seorang ekonom profesional bertangan dingin. Tangan dingin Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan Doktor Ekonomi Bisnis lulusan Wharton School University of Pennsylvania, AS 1979, ini terbukti selama menjabat Menteri Keuangan pada pemerintahan Megawati, Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (resuffle Senin (5/12/2005), maupun sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Selama menjabat Menkeu Kabinet Gotong-Royong, suami dari Herawati dan ayah dua anak (Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan), ini berhasil membenahi bidang fiskal, masalah kurs, suku bunga dan pertumbuhan ekonomi.

Bersama dalam The Dream Team dan Bank Indonesia, Master of Economics, Monash University, Melbourne, Australia (1972), itu berhasil menstabilkan kurs rupiah pada kisaran Rp 9000-an per dolar AS. Begitu pula dengan suku bunga berada dalam posisi yang cukup baik merangsang kegiatan bisnis, sehingga pertumbuhan ekonomi menaik secara signifikan. Pria berpenampilan kalem dan santun serta terukur berbicara itu juga dinilai mampu membuat situasi ekonomi yang saat itu masih kacau menjadi dingin.

Saat baru menjabat Menkeu, langkah pertama yang dilakukan berpenampilan rapih dan low profile itu adalah menyelesaikan Letter of Intent dengan IMF yang telah disepakati sebelumnya serta mempersiapkan pertemuan Paris Club September 2001. Paris Club ini merupakan salah satu pertemuan penting karena menyangkut anggaran 2002. Setelah itu, dia bersama tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong, secara terencana mengakhiri kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) Desember 2003.

Departemen Keuangan di bawah kendali pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu pun berhasil melampaui masa transisi pascaprogram IMF, yang sebelumnya sudah dia ingatkan akan sangat rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa percaya (confidence) pasar. Apalagi kala itu, Pemilihan Umum 2004 juga berlangsung. Kondisi rawan itu pun berhasil dilalui tanpa terjadi guncangan ekonomi.

Dia berhasil menggalang kerjasama dengan Bank Indonesia dan tim ekonomi lainnya, kecuali dengan Kwik Kian Gie yang kala itu tampak berbicara sendiri sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas.

Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia berhasil memperbaiki keuangan pemerintah dengan sangat baik sehingga mampu membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional.

Tak heran bila majalah BusinessWeek (AS), memberi Boediono pengakuan sebagai tokoh yang kompeten di posisinya sebagai menteri keuangan. Ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam Kabinet Gotong Royong.

Maka ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Ternyata, Jusuf Anwar hanya bisa bertahan lebih satu tahun.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan mengangkat Sri Mulyani menggantikan Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan.

Boediono sendiri, dikabarkan sempat menolak secara halus saat diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk memperkuat jajaran tim ekonomi, dengan alasan hendak beristirahat dan kembali mengajar. Namun, akhirnya ia memenuhi permintaan SBY.

Tiga hari sebelumnya, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyo dalam jumpa pers di Pangkalan TNI Angkatan Udara Kelapa Sawit, Medan, Sumatera Utara, Jumat (2/12/2005), mengungkapkan telah meminta mantan Menteri Keuangan Boediono untuk memperkuat tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, pasar pun menyambutnya dengan antusias. IHSG dan mata uang rupiah langsung menguat.

Terlihat dari nilai tukur rupiah yang langsung naik dibawah Rp 10.000 per dolar AS. Boediono dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kini belum didukung pemulihan sektor riil dan moneter. Juga perdagangan di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ) naik signifikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ langsung ditutup menguat hingga 23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level 1.100.

Berbagai pelaku bisnis menilai Boediono kredibel, low profile, tidak banyak bicara, prudent dan sangat konservatif.

Presiden mengakui, sebelum terbang ke Sibolga, Kamis (1/12) pagi, telah bertemu Boediono, memintanya memperkuat tim ekonomi. Menurut Presiden, Boediono cukup meyakinkan untuk mengelola makro-ekonomi dengan baik.

Namun, menurut Presiden SBY, Boediono mengaku ingin beristirahat sambil berbuat baik bagi negara tanpa harus bergabung di kabinet. “Tetapi saya minta, Pak Boediono kalau negara memerlukan, kalau rakyat menghendaki dan Anda harus masuk pemerintahan, tentu itu amanah. Mudah-mudahan semuanya berjalan baik dalam satu dua hari ini,” kata Presiden SBY.

Presiden SBY didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng, dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede, menginginkan ada komunikasi dan konsultasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Diungkapkan, inflasi tahun 2005 yang lebih buruk dari tahun 2004 dinilai jauh dari harapan. Tentu ada faktor yang bisa menjelaskan mengapa inflasi buruk. Harus ada keterpaduan atau harmoni kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia.

Presiden berharap Boediono akan mampu membenahi kinerja ekonomi Indonesia, terutama di sektor riil dan terkait dengan tingginya laju inflasi saat ini menyusul kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 diiringi tingginya tingkat konsumsi pada bulan puasa Ramadhan dan Lebaran November 2005.

“Mengapa saya akan menata kembali tim ekonomi karena kita ingin semuanya tertata baik, makro-ekonomi, mikro-ekonomi, jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Ada yang harus bergerak cepat, yaitu ekonomi, tetapi harus ada yang menjaga stabilitas jangka panjang, sustainability, dan balance, kata Presiden SBY.

Presiden menginginkan orang yang tepat di posisi yang tepat untuk mendukung kerja tim yang kuat. Pemilihan figur didasarkan pada kemampuan melakukan koordinasi dan kerja sama tim yang baik. Presiden berkepentingan dengan dua hal itu, untuk memiliki dewan menteri dan tim kerja yang baik.

Sementara, Boediono yang dikenal sebagai pribadi yang sedikit bicara banyak bekerja itu, belum mau bicara soal ajakan Presiden SBY tersebut.

Akhirnya Dr. Boediono, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu bersedia menjabat Menko Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie. Ia didukung Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga handal. Mereka membawa perekonomian Indonesia pada track dan daya tahan yang baik, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi global.

Kemudian, ada tanggal 9 April 2008, DPR mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah.

Sebelum menjabat Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong (2001–2004) dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono telah menjabat Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ia juga pernah menjabat Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini memperoleh gelar S1 (Bachelor of Economics (Hons.)) dari [Universitas Western Australia] pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, meraih gelar Master of Economics dari Universitas Monash. Kemudian meraih gelar S3 (Ph.D) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania pada tahun 1979.

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Guest Comment